Kecanduan Sosial Media, Tapi Kok Jadi Juara? Ini Rahasianya!
Di zaman sekarang siapa yang tidak mengenal Facebook? Aplikasi yang dibuat oleh Mark Zuckerberg itu telah mencapai 1 milyar download di Play Store. Sungguh pencapaian yang luar biasa bukan? Seluruh dunia sudah menggunakannya tak memandang kalangan dan usia, mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, bahkan lanjut usia. Hidup di zaman yang serba canggih ini membuat kita sulit sekali rasanya untuk meninggalkan kebiasaan browsing, streaming film, bersosial media, maupun hanya sekedar bermain game online setiap harinya.
Jadi, ketika siswa menggunakan sosial media, mereka akan melepas segala pikiran ke dalam kirimannya dan dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan dari apa yang sudah diunggah guru, dengan begitu keakraban siswa dan guru lebih terasa dan guru merasa terbantu untuk mengetahui karakter tiap anak didiknya tanpa mengurangi rasa hormat siswa terhadap guru.
Kecanduan Sosial Media
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, candu adalah “kebiasaan yang menjadi kegemaran”. Sesuatu yang kita lakukan secara berulang-ulang hingga menjadi kegemaran yang bahkan meninggalkan hal penting lainnya ini dapat dikatakan sebagai sikap candu. Lalu, seberapa candukah saya dalam menggunakan ponsel? Seberapa sering saya bermain game online? Saya merasa nyaman di dunia maya, benarkah saya kecanduan sosial media? Pertanyaan-pertanyaan tersebut kadang muncul dalam benak kita, menimbulkan kecemasan akan masa depan. Namun Anda tak perlu khawatir, ternyata kecanduan akan dunia maya juga ada manfaatnya.
Banyak orang-orang berpendapat bahwa kecanduan sosial media seperti Instagram, Facebook, Twitter, Path, dan sebagainya itu justru akan menimbulkan sikap asosial. Arli Aditya Parikesit mengatakan bahwa “Penggunaan medsos yang tanpa kendali, akan mengakibatkan pembelajar melupakan tugas utama mereka di sekolah atau bangku kuliah, dan memilih memasuki dunia virtual tanpa batas.” Hal ini jelas membuat orang tua khawatir terhadap anaknya. Benarkah sikap asosial dapat terjadi setelah seseorang kecanduan sosial media?
Asosial merupakan sikap yang tidak memiliki rasa sosial, tidak mementingkan kepentingan masyarakat. Menurut Ajeng Quamila, asosial adalah “disfungsi kepribadian yang ditandai dengan menarik diri dan menghindar secara sukarela terhadap interaksi sosial apapun. Seorang asosial cenderung tidak mempedulikan orang lain, kadang kasar”. Dalam masyarakat kadang salah mengartikan antara perbedaan asosial dan antisosial, padahal perbedaannya sangat jelas. Asosial hanya sikap menarik diri dari kehidupan sosial bermasyarakat, sedangkan antisosial merupakan sikap yang cenderung tidak suka pada masyarakat sekitar, misalnya membuat kerusuhan sehingga mengganggu ketentraman masyarakat.
Padahal jika dipikirkan lebih lanjut, di dalam sosial media banyak informasi tentang kemanusiaan, dengan sosial media kita mengetahui dunia luar, dengan sosial media kita bebas mengekspresikan diri, dengan sosial media kita mengetahui kabar saudara yang sedang di tanah rantau, dengan sosial media juga kita mendapat pembelajaran tambahan yang belum dimengerti di sekolah.
TIK Menjadi Alternatif Pembelajaran
Sebagai pelajar yang menggunakan kurikulum 2013, kita diwajibkan untuk berpikir kreatif dan mandiri, smartphone bisa menjadi salah satu median penyampaian materinya. Pergantian kurikulum yang dilakukan pemerintah membuat siswa dan guru kesulitan saat kegiatan belajar mengajar. Pasalnya, pergantian kurikulum tidak dibarengi dengan kegiatan pendistribusian buku penunjang pembelajaran kurikulum yang baru ke daerah-daerah, saat seperti ini teknologi pendidikan sangat diperlukan untuk mencari jalan keluarnya. Guru dan siswa bisa memanfaatkan telepon pintar yang mereka miliki untuk mengunduh buku elektronik dalam kegiatan pembelajaran.
Beberapa siswa mungkin ada yang merasa kesulitan saat menerima materi pelajaran di sekolah dikarenakan beberapa sebab, alternatifnya guru dapat membuka kelas belajar online sebagai variasi pembelajaran. Guru dapat menyampaikan materi-materi ringan di sosial media yang di bagian akhirnya berisi pertanyaan-pertanyaan seru sehingga siswa tertarik untuk meninggalkan komentarnya.
Jadi, ketika siswa menggunakan sosial media, mereka akan melepas segala pikiran ke dalam kirimannya dan dengan senang hati menjawab pertanyaan-pertanyaan dari apa yang sudah diunggah guru, dengan begitu keakraban siswa dan guru lebih terasa dan guru merasa terbantu untuk mengetahui karakter tiap anak didiknya tanpa mengurangi rasa hormat siswa terhadap guru.
Untuk menerapkan hal ini tentunya bukanlah hal yang mudah, tiap siswa memiliki karakter yang berbeda-beda. Bagi siswa yang aktif ini pasti akan terasa menyenangkan apabila berteman dengan guru di media sosial, tapi ada pula siswa pemalu, walaupun di sosial media dia tetap segan untuk membalas komentar gurunya karena takut salah bicara. Untuk menangani hal ini, guru bisa mengatasinya dengan menjadi anak muda kembali, maksudnya jangan terlalu sering menggunakan bahasa yang kaku di sosial media karena pada umumnya anak muda menggunakan bahasa yang ringan dan mudah dimengerti di sosial media.
Budayakan Semangat Belajar Online
Kemunculan grup-grup pembelajaran yang dibentuk oleh siswa dari berbagai daerah di aplikasi WhatsApp juga merupakan kabar gembira untuk pendidikan di Indonesia, pasalnya grup ini dibentuk atas kemauan sendiri. Ini artinya, masih banyak pelajar Indonesia yang berusaha memanfaatkan internet dengan sebaik-baiknya.
Siswa yang tergabung dalam grup ini biasanya berbagi ilmu yang sudah didapatkan di sekolahnya. Beberapa di antara mereka ada yang bertanya tentang tugas sekolah dan siswa lain membantu menjawabnya. Pemanfaatan media teknologi seperti ini lah yang harusnya dicontoh oleh pelajar lainnya, sosial media bukan hanya untuk menjadi terkenal semata, tetapi digunakan untuk mengisi otak juga.
Peranan orang tua juga sangat penting bagi siswa saat mengakses sosial media, namun pada kenyataannya orang tua yang seharusnya mengawasi anak di dunia maya justru malah gagap teknologi atau mungkin ada orang tua siswa sibuk bekerja tanpa pernah mengawasi apa yang diakses anaknya sehingga anak bisa leluasa menggunakan internet.
Namun orang tua tak perlu khawatir, sejak dibentuknya Edmodo pada tahun 2008 ini orang tua bisa menjadi bagian dari pembelajaran anak di sosial media. Aplikasi yang dibuat menyerupai Facebook memang ditujukan sebagai tempat pembelajaran dengan menambahkan beberapa game di dalamnya tentu akan membuat kegiatan belajar menjadi menyenangkan.
Edmodo merupakan sebuah sosial media yang dikhususkan untuk pembelajaran online, meskipun dibuat karena terinspirasi dari Facebook, tetap saja memiliki perbedaan. Perbedaan mencoloknya terletak pada sistem keterbukaannya. Jika di Facebook kita bebas terhubung dengan siapapun, maka di Edmodo tidak demikian, keterbukaannya hanya pada kelas-kelas saja sehingga jika ingin berhubungan dengan kelas lain kita harus mendapat pengarahan dari guru terlebih dahulu.
Dengan pengarahan yang teratur, Edmodo memang sangat cocok digunakan sebagai media pembelajaran online kapan dan di mana saja. Selain itu, orang tua siswa juga merasa terbantu dengan fitur I’m Parent sehingga pemantauan belajar anak bisa tetap diawasi meskipun sedang berada di luar kota.
Internet Adalah Pintu Ilmu Pengetahuan
Banyaknya kelas online yang bermunculan di sosial media juga tidak akan menjamin siswa yang menggunakannya menjadi pintar. Namun hal ini perlu dimulai dengan semangat belajar dari siswa itu sendiri. Jika pepatah mengatakan buku adalah jendela dunia dan membaca adalah kuncinya , lalu pernahkah Anda bertanya, di manakah pintu dunia berada? Jawabannya adalah internet. Ya, internet merupakan pintu dunia karena sangat luas cakupan ilmu informasi di dalamnya, salah satunya ialah sosial media. Sosial media adalah pintu ilmu pengetahuan jika kita bijak menyikapinya dan tombol follow merupakan kuncinya.
Mengapa dikatakan demikian? Setiap orang yang menggunakan Instagram tentu mengikuti orang-orang yang berbeda tanpa unsur keterpaksaan. Siswa yang haus akan ilmu tentu juga akan merasa haus ilmu dimana-mana, tak terkecuali di sosial media. Mereka akan mencari informasi mengenai akun-akun yang memuat konten positif dan pembelajaran, kemudian mereka akan mengikuti akun tersebut. Berbeda dengan orang yang tidak punya semangat belajar, mereka mungkin malah hanya memfollow artis idola mereka dan hanya berambisi untuk menjadi terkenal seperti idolanya.
Siswa yang mengikuti akun pembelajaran di sosial media inilah yang dianggap sudah memanfaatkan sosial media dengan baik, jiwanya akan terpuaskan dengan ilmu-ilmu pengetahuan, dialah yang mendapatkan kunci dari pintunya ilmu pengetahuan. Sementara, siswa yang menggunakan sosial media untuk mengetahui kabar terbaru dari idola itu tidak akan mendapatkan apa-apa karena belum dapat memanfaatkan sosial media dengan bijak dan semestinya sebagai seorang pelajar.
Nah, ternyata tidak semua kecanduan itu berkonotasi buruk kan? Asal dilakukan pada saat dan tujuan yang tepat, kecanduan sosial media misalnya. Kecanduan sosial media juga ternyata bisa membuat kita menjadi juara kelas, apabila kita bijak dalam menggunakannya sebagai seorang pelajar. Tidak ada yang salah dengan sosial media, kesalahan hanya terjadi pada penggunanya, bukan aplikasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Departemen Pendidikan Nasional. 2016. Kamus Besar Bahasa Indonesia Online. https://kbbi.web.id/candu. (Diakses: Selasa, 7 Agustus 2018).
Guru TIK. 2014. “Edmodo”. http://www.gurutik.com/2014/10/edmodo.html. (Diunduh: Sabtu, 4 Agustus 2018).
Parikesit, Arli Aditya. 2013. “Peran Media Sosial pada Pendidikan”. https://inet.detik.com/cyberlife/d-2233962/peran-media-sosial-dalam-pendidikan. (Diakses: Selasa, 7 Agustus 2018)
Quamila, Ajeng. 2017. “Apa itu Antisosial dan Apa Bedanya dengan Asosial?”. https://hellosehat.com/hidup-sehat/psikologi/beda-antisosial-dan-asosial/. (Diakses: Senin, 6 Agustus 2018).
(Artikel ini pernah diikutsertakan dalam Lomba Menulis Artikel Ilmiah Populer TIK Pendidikan Tahun 2018 oleh Kantor Bahasa Jambi dan mendapat Juara 1 tingkat SMK se-provinsi Jambi)
sangat bagus untuk dibaca kak
ReplyDeletelipstik
Terima kasih. Berkujung lagi ya!
Delete